Jumat, 12 Juli 2013

Daerah Misterius (cerpen)

Nikmatnya jadi anak band. Satu-satunya hal yang harus aku fikirkan hanyalah musik! Yang namanya musik, tidak pernah menjadi beban. Musik ada untuk dinikmati.
Aku main band sejak kelas 1 SMP sampai sekarang akan masuk kuliah. Hari minggu nanti band-ku akan manggung disebuah acara amal yang didadakan oleh sebuah radio di Bandung. Kami pun mulai berlatih dari beberapa hari sebelumnya.
Tepat sehari sebelum hari H, Rohan adikku menelfon. Dia ingin meminjam gitarku hari Sabtu dan Minggu untuk acara malam keakraban disekolahnya. Haduh! Aku kan pakai gitarnya hari Minggu. Tadinya aku ingin menolak permintaan adikku. Tapi...... ya sudahlah, mungkin aku bisa meminjam gitar ke Dayat, Eldwin, atau Raiga. Akhirnya gitar ini aku pinjamkan ke Rohan, dan sekarang saatnya aku cari pinjaman gitar.
Aku : Sion (gitaris), Eldwin (drummer), dan Raiga (vokalis) sibuk mengotak-ngatik phonebook kami masing-masing. Mencari siapa kira-kira yang gitarnyabisa kami pinjam. Beberapa orangsudah kami telfon, tapi belum ada yang bisa meminjamkan gitarnya.
Lalu aku teringat Dayat, teman lamaku. Dia punya studio band didaerah Cimuncang. Semoga saja dia bisa meminjamkan gitar! Aku coba menelfonnya. Setelah lama tidak diangkat akhirnya ada jawaban.
Beberapa menit berbasa-basi, aku pun langsung keintinya. Aku ingin meminjam gitar untuk manggung besok pagi. Syukurlah, ternyata Dayat mau meminjamkan gitar dari studionya. Hanya saja. Aku harus mengambilnya di studio di Cimuncang setelah jam 12 malam. Karena sebelum saat itu, gitarnya sudah dibook untuk dipakai rekaman oleh pelanggan studionya.
Ya sudahlah. Aku menyanggupinya. Soalnya aku benar-benar butuh gitar itu besok pagi. Kami bertiga, aku, Raiga, dan Eldwin menunggu sampai jam 12 malam dirumah Eldwin. Sambil menunggu aku sesekali mengirimkan SMS ke Dayat. Untuk cari tau dimana lokasi studionya itu plus patokan-patokan jalannya.
Disaat saling SMS itu, Dayat memberi tau kalu dia tidak akan ada disana, Kebetulan ada urusan mendadak. Nanti di studionya akan ada operator studio bernama Filson. Gitarnya sudah dititipkan pada Filson.
Jam di rumah Eldwin sudah menunjukkan jam 12 kurang 15 menit. Kami pun bergegas berangkat, agar sampai di studio Dayat tepat jam 12 teng. Kami berangkat menggunakan mobil Raiga. Aku duduk dikursi bagian depan penumpang dan Eldwin dibagian belakang sedangkan Raiga yang menyetir.
Aku mengeluarkan ponselku dan mengecek SMS Dayat yang berisi patokan-patokan lokasi studionya. Ketika sudah mulai masuk daerah Cimuncang, aku mulai mengikuti arah dari petunjuk Dayat.
Wah, ternyata Cimuncang dimalam hari agak-agak menyeramkan. Sangat sepi dan gelap, padahal ini malam Minggu.
Mobil berjalan perlahan sementara aku melihat sekeliling memastikan kalau kami mengambil arah yang benar. Mobil ini semakin mengarah keatas dan jalanan pun semakin sempit dan gelap. Kami sempat ragu ketika melewati jalan yang rusak dan disebelah mobil kami..... oh itu.... sepertinya kuburan!!! Kuburan yang tertata rapi.
Karena takut, refleks aku berceletuk, “Weeeiis!! Tengah malam, sepi, gelap, jalan jelek, kuburan...... mantap!!! Derita anak band mau sukses nih....!”
Eldwin dan Raiga tertawa menanggapinya. Dalam hati, aku yakin sebenarnya mereka juga merasakan ketakutan yang sama.
Akhirnya jalan kembali bagus. Dan aku menemukan patokan selanjutnya, sebuah tanjakan terjal. Kata Dayat, setelah melewati tanjakan itu, jalan lurus terus sampai mentok. Lalu belok kanan dan tidak jauh dari situ aku akan menemukan jalan bercabang tiga. Studionya Dayat ada dijalan paling kiri.
Yapp!! Berarti kami hampir sampai! Kami terus mengikuti petunjuk Dayat. Tanjakan..... Sekarang jalan mulai menurun dan mentok. Kami belok kanan... tapi tiba-tiba setengah berteriak Eldwin berteriak “bro, bro, bro coba liat!! Ega Ega coba berhentiin dulu mobilnya bentar!” Eldwin menunjuk sebuah rumah tempat belokan itu.
Sebuah rumah yang sangat besar, sepertinya empat lantai. Tapi..... rumah itu kosong dan tidak terawat. Sudah tidak ada jendela lagi. Rumah itu penuh dengan tanaman rambat. Merambat dari dalam rumah hingga keluar rumah. Sepertinya rumah ini tidak selesai dibangun. Hmm cukup menakutkan!
Aku lalu menyuruh Raiga melanjutkan perjalanan, mengingatkan mereka bahwa hari sudah semakin larut. Mobil pun maju perlahan. Benar kata Dayat, tidak jauh dari situ, kami menemukan tiga jalan. Kanan.... rumah-rumah.... lurus..... sebuah jalan menuju rumah-rumah... kiri.... hah? Kok?? Pohon pisang semua?? Sepertinya kebun pisang!!
Aduhh, jangan-jangan kami nyasar! Kami lalu putar balik dan kembali ketanjakan tadi. Setelah sampai tanjakan, aku telfon Dayat. Aku bertanya sekali lagi patokan rumahnya dan dia memberitau sama seperti tadi.
Loh kok?? Berarti jalan yang kami ambil benar dong?? Aku menceritakan tentang kebun pisang itu. Dayat nampak heran karena tidak ada kebun pisang didaerah situ.
Akhirnya aku meminta Dayat tidak menutup telfon dan terus berbicara padaku hingga aku sampai di studio. Turun tanjakan... mentok, belok kanan... jalan terbagi tiga. Kami langsung ke kiri..., rumah!! Rumah putih besar!!!
Hah mana kebun pisangnya?? Jelas-jelas tadi kan..... terdengar suara Dayat memecahkan kekagetanku, “sudah sampai? Sudah lihat rumah putih besar?”
“ss...ssudah..!” aku menjawabnya dengan bingung
“ya, itu studionya!” jawab Dayat pasti. Lalu dia menutup telfon.
Aku, Eldwin, dan Raiga saling berpandangan, tidak berkata apa-apa. Kami masuk ke dalam halaman rumah dan tampak seseorang menunggu didepan. Ternyata itu Filson. Setelah memastikan kami temannya Dayat, dia masuk ke dalam rumah dan tak lama kembali keluar dengan membawa gitar.
Singkat cerita, gitar sudah ditangan dan kami pun berputar balik untuk pulang. Ketika mobil baru berjalan beberapa meter, aku melihat ke belakang sebentar, ke arah studio Dayat. Haa?? Studio Dayat tak terlihat lagi!! Yang ada kebun pisang lagii!
Cepat-cepat aku kembali melihat kedepan. Diam. Jantungku berdetak sangat kencang. Tapi aku belum berani bercerita kepada kedua temanku dimobil ini.
Kami lalu sampai dibelokan yang rumah empat lantai dengan tanaman rambat yang tidak terurus. Lagi-lagi Eldwin meminta Raiga menghentikan mobil. Astaga, ngapain sih Win??? Duh, Raiga menurut pula dan menghentikan mobilnya. Eldwin lalu membuka kaca dan mengambil beberapa foto rumah itu. Sialan!! Sempet-sempetnya dia!! Untung Raiga mengerti rasa cemasku dan dia langsung tancap gas, syukurlah!!
Selama perjalanan berikutnya, suasana mobil sepi. Hening, mungkin kami kehabisan bahan pembicaraan atau mengantuk. Entahlah, karena memang hari sudah arut. Raiga lalu menyalakan musik, yah lumayanlah menghangatkan suasana yang tadinya sepi.
Tiba-tibaaa....musiknya berhenti. Radionya mati!! Kami semua diam tidak ada yang bicara sepatah katapun. Hening, aku lalu merasakan nafas hangat dibelakang leherku. Teryata.... itu kepala Eldwin. Suaranya terdengar ketakutan. Dengan dan suaranya terdengar lemas, dia berkata “Sion, Raiga disebelah gue ada cewe duduk... pake baju putih ... rambut panjang... pleasssse cepetan ngebut...!”
Gilaaa! Keterlaluan bercandanya si Eldwin!! Tadinya aku mau marahin Eldwin tapi... seketika aku merinding!! Saat aku mau melihat ke belakang dan menegur Eldwin, aaah... tercium bau busuk!! Bau amis dari kursi belakang
Kontan saja aku tidak jadi melihat ke belakang! Baunya sangat menusuk!! Raiga semakin cepat mengemudikan mobil. Dan astaga.... aku melihat jalan rusak didepan. Itu berarti, kami melewati kuburan yang tadi!! SIAAAL!!
Raiga tidak mengurangi kecepatan sama sekali ketika melewati jalan rusak itu. Hasilnya, kami semua terpental-pentaldi mobil. Aku penasaran dan melihat ke kanan. Ha?? Mana kuburannya?? Yang ada hanya pohon pisang! Banyak sekali pohon pisang!!!
Tepat saat itu, terdengar suara wanita tertawa dari kursi belakang!! Suara... suara tertawayang mengerikan membuat bulu kudukku berdiri.
Lalu tiba-tiba tawa itu menghilang!! Tepat didepan kebun pisang itu!! Arrrrgghh!!! Kenapa ini?? Itu kan tadi kuburan!! Entah kenapa kami semua berteriak. Teriak ketakutan! Dan mobil terus melaju dalam kecepatan tinggi.
Kami sampai rumahnya Eldwin dengan lemas dan bergetar. Ketika diparkiran, satpam rumah Eldwin menegur kami. Dia heran melihat kami semua pucat dan bertanya dari mana. Aku hanya menjawab lemas “nanti pagi saja ceritanya Pak!”
“mamah sudah pulang pa?” tanya Eldwin
“sudah!”
“oh!”
Ah tubuhku lelah. Jiwaku pun lelah. Kurasa kedua temanku pun seperti itu. Kami berjalan gontai menuju kamar Eldwin. Eldwin terlihat begitu gemetar diantara kami semua. Kami bertiga mengambil posisi tidur di sofa yang ada di kamar Eldwin, kami semua melompat kaget setelah mendengar suara telfon. Itu telfon sambungan dari pos satpam depan. Syukurlah. Aku yang paling dekat dengan telfon menekan tombol loudspeaker.
“hallo mas Eldwin? Ini dari pos satpam!” terdengar suara pak satpam itu.
“ada apa?” tanya Eldwin
“mas, ini temannya yang cewe ga diajak turun? Ko dibiarin tidur dimobil? Mobilnya dikunci lagi!” ucapnya
Kami bertiga saling memandang dan berteriaaaaaaaaaaaaaak
**

(buku nightmare season 1)