Nikmatnya jadi anak band. Satu-satunya hal yang harus aku fikirkan
hanyalah musik! Yang namanya musik, tidak pernah menjadi beban. Musik
ada untuk dinikmati.
Aku main band sejak kelas 1 SMP sampai sekarang akan masuk kuliah. Hari
minggu nanti band-ku akan manggung disebuah acara amal yang didadakan
oleh sebuah radio di Bandung. Kami pun mulai berlatih dari beberapa hari
sebelumnya.
Tepat sehari sebelum hari H, Rohan adikku menelfon. Dia ingin meminjam
gitarku hari Sabtu dan Minggu untuk acara malam keakraban disekolahnya.
Haduh! Aku kan pakai gitarnya hari Minggu. Tadinya aku ingin menolak
permintaan adikku. Tapi...... ya sudahlah, mungkin aku bisa meminjam
gitar ke Dayat, Eldwin, atau Raiga. Akhirnya gitar ini aku pinjamkan ke
Rohan, dan sekarang saatnya aku cari pinjaman gitar.
Aku : Sion (gitaris), Eldwin (drummer), dan Raiga (vokalis) sibuk
mengotak-ngatik phonebook kami masing-masing. Mencari siapa kira-kira
yang gitarnyabisa kami pinjam. Beberapa orangsudah kami telfon, tapi
belum ada yang bisa meminjamkan gitarnya.
Lalu aku teringat Dayat, teman lamaku. Dia punya studio band didaerah
Cimuncang. Semoga saja dia bisa meminjamkan gitar! Aku coba menelfonnya.
Setelah lama tidak diangkat akhirnya ada jawaban.
Beberapa menit berbasa-basi, aku pun langsung keintinya. Aku ingin
meminjam gitar untuk manggung besok pagi. Syukurlah, ternyata Dayat mau
meminjamkan gitar dari studionya. Hanya saja. Aku harus mengambilnya di
studio di Cimuncang setelah jam 12 malam. Karena sebelum saat itu,
gitarnya sudah dibook untuk dipakai rekaman oleh pelanggan studionya.
Ya sudahlah. Aku menyanggupinya. Soalnya aku benar-benar butuh gitar
itu besok pagi. Kami bertiga, aku, Raiga, dan Eldwin menunggu sampai jam
12 malam dirumah Eldwin. Sambil menunggu aku sesekali mengirimkan SMS
ke Dayat. Untuk cari tau dimana lokasi studionya itu plus
patokan-patokan jalannya.
Disaat saling SMS itu, Dayat memberi tau kalu dia tidak akan ada
disana, Kebetulan ada urusan mendadak. Nanti di studionya akan ada
operator studio bernama Filson. Gitarnya sudah dititipkan pada Filson.
Jam di rumah Eldwin sudah menunjukkan jam 12 kurang 15 menit. Kami pun
bergegas berangkat, agar sampai di studio Dayat tepat jam 12 teng. Kami
berangkat menggunakan mobil Raiga. Aku duduk dikursi bagian depan
penumpang dan Eldwin dibagian belakang sedangkan Raiga yang menyetir.
Aku mengeluarkan ponselku dan mengecek SMS Dayat yang berisi
patokan-patokan lokasi studionya. Ketika sudah mulai masuk daerah
Cimuncang, aku mulai mengikuti arah dari petunjuk Dayat.
Wah, ternyata Cimuncang dimalam hari agak-agak menyeramkan. Sangat sepi dan gelap, padahal ini malam Minggu.
Mobil berjalan perlahan sementara aku melihat sekeliling memastikan
kalau kami mengambil arah yang benar. Mobil ini semakin mengarah keatas
dan jalanan pun semakin sempit dan gelap. Kami sempat ragu ketika
melewati jalan yang rusak dan disebelah mobil kami..... oh itu....
sepertinya kuburan!!! Kuburan yang tertata rapi.
Karena takut, refleks aku berceletuk, “Weeeiis!! Tengah malam, sepi,
gelap, jalan jelek, kuburan...... mantap!!! Derita anak band mau sukses
nih....!”
Eldwin dan Raiga tertawa menanggapinya. Dalam hati, aku yakin sebenarnya mereka juga merasakan ketakutan yang sama.
Akhirnya jalan kembali bagus. Dan aku menemukan patokan selanjutnya,
sebuah tanjakan terjal. Kata Dayat, setelah melewati tanjakan itu, jalan
lurus terus sampai mentok. Lalu belok kanan dan tidak jauh dari situ
aku akan menemukan jalan bercabang tiga. Studionya Dayat ada dijalan
paling kiri.
Yapp!! Berarti kami hampir sampai! Kami terus mengikuti petunjuk Dayat.
Tanjakan..... Sekarang jalan mulai menurun dan mentok. Kami belok
kanan... tapi tiba-tiba setengah berteriak Eldwin berteriak “bro, bro,
bro coba liat!! Ega Ega coba berhentiin dulu mobilnya bentar!” Eldwin
menunjuk sebuah rumah tempat belokan itu.
Sebuah rumah yang sangat besar, sepertinya empat lantai. Tapi.....
rumah itu kosong dan tidak terawat. Sudah tidak ada jendela lagi. Rumah
itu penuh dengan tanaman rambat. Merambat dari dalam rumah hingga keluar
rumah. Sepertinya rumah ini tidak selesai dibangun. Hmm cukup
menakutkan!
Aku lalu menyuruh Raiga melanjutkan perjalanan, mengingatkan mereka
bahwa hari sudah semakin larut. Mobil pun maju perlahan. Benar kata
Dayat, tidak jauh dari situ, kami menemukan tiga jalan. Kanan....
rumah-rumah.... lurus..... sebuah jalan menuju rumah-rumah... kiri....
hah? Kok?? Pohon pisang semua?? Sepertinya kebun pisang!!
Aduhh, jangan-jangan kami nyasar! Kami lalu putar balik dan kembali
ketanjakan tadi. Setelah sampai tanjakan, aku telfon Dayat. Aku bertanya
sekali lagi patokan rumahnya dan dia memberitau sama seperti tadi.
Loh kok?? Berarti jalan yang kami ambil benar dong?? Aku menceritakan
tentang kebun pisang itu. Dayat nampak heran karena tidak ada kebun
pisang didaerah situ.
Akhirnya aku meminta Dayat tidak menutup telfon dan terus berbicara
padaku hingga aku sampai di studio. Turun tanjakan... mentok, belok
kanan... jalan terbagi tiga. Kami langsung ke kiri..., rumah!! Rumah
putih besar!!!
Hah mana kebun pisangnya?? Jelas-jelas tadi kan..... terdengar suara
Dayat memecahkan kekagetanku, “sudah sampai? Sudah lihat rumah putih
besar?”
“ss...ssudah..!” aku menjawabnya dengan bingung
“ya, itu studionya!” jawab Dayat pasti. Lalu dia menutup telfon.
Aku, Eldwin, dan Raiga saling berpandangan, tidak berkata apa-apa. Kami
masuk ke dalam halaman rumah dan tampak seseorang menunggu didepan.
Ternyata itu Filson. Setelah memastikan kami temannya Dayat, dia masuk
ke dalam rumah dan tak lama kembali keluar dengan membawa gitar.
Singkat cerita, gitar sudah ditangan dan kami pun berputar balik untuk
pulang. Ketika mobil baru berjalan beberapa meter, aku melihat ke
belakang sebentar, ke arah studio Dayat. Haa?? Studio Dayat tak terlihat
lagi!! Yang ada kebun pisang lagii!
Cepat-cepat aku kembali melihat kedepan. Diam. Jantungku berdetak
sangat kencang. Tapi aku belum berani bercerita kepada kedua temanku
dimobil ini.
Kami lalu sampai dibelokan yang rumah empat lantai dengan tanaman
rambat yang tidak terurus. Lagi-lagi Eldwin meminta Raiga menghentikan
mobil. Astaga, ngapain sih Win??? Duh, Raiga menurut pula dan
menghentikan mobilnya. Eldwin lalu membuka kaca dan mengambil beberapa
foto rumah itu. Sialan!! Sempet-sempetnya dia!! Untung Raiga mengerti
rasa cemasku dan dia langsung tancap gas, syukurlah!!
Selama perjalanan berikutnya, suasana mobil sepi. Hening, mungkin kami
kehabisan bahan pembicaraan atau mengantuk. Entahlah, karena memang hari
sudah arut. Raiga lalu menyalakan musik, yah lumayanlah menghangatkan
suasana yang tadinya sepi.
Tiba-tibaaa....musiknya berhenti. Radionya mati!! Kami semua diam tidak
ada yang bicara sepatah katapun. Hening, aku lalu merasakan nafas
hangat dibelakang leherku. Teryata.... itu kepala Eldwin. Suaranya
terdengar ketakutan. Dengan dan suaranya terdengar lemas, dia berkata
“Sion, Raiga disebelah gue ada cewe duduk... pake baju putih ... rambut
panjang... pleasssse cepetan ngebut...!”
Gilaaa! Keterlaluan bercandanya si Eldwin!! Tadinya aku mau marahin
Eldwin tapi... seketika aku merinding!! Saat aku mau melihat ke belakang
dan menegur Eldwin, aaah... tercium bau busuk!! Bau amis dari kursi
belakang
Kontan saja aku tidak jadi melihat ke belakang! Baunya sangat menusuk!!
Raiga semakin cepat mengemudikan mobil. Dan astaga.... aku melihat
jalan rusak didepan. Itu berarti, kami melewati kuburan yang tadi!!
SIAAAL!!
Raiga tidak mengurangi kecepatan sama sekali ketika melewati jalan
rusak itu. Hasilnya, kami semua terpental-pentaldi mobil. Aku penasaran
dan melihat ke kanan. Ha?? Mana kuburannya?? Yang ada hanya pohon
pisang! Banyak sekali pohon pisang!!!
Tepat saat itu, terdengar suara wanita tertawa dari kursi belakang!!
Suara... suara tertawayang mengerikan membuat bulu kudukku berdiri.
Lalu tiba-tiba tawa itu menghilang!! Tepat didepan kebun pisang itu!!
Arrrrgghh!!! Kenapa ini?? Itu kan tadi kuburan!! Entah kenapa kami semua
berteriak. Teriak ketakutan! Dan mobil terus melaju dalam kecepatan
tinggi.
Kami sampai rumahnya Eldwin dengan lemas dan bergetar. Ketika
diparkiran, satpam rumah Eldwin menegur kami. Dia heran melihat kami
semua pucat dan bertanya dari mana. Aku hanya menjawab lemas “nanti pagi
saja ceritanya Pak!”
“mamah sudah pulang pa?” tanya Eldwin
“sudah!”
“oh!”
Ah tubuhku lelah. Jiwaku pun lelah. Kurasa kedua temanku pun seperti
itu. Kami berjalan gontai menuju kamar Eldwin. Eldwin terlihat begitu
gemetar diantara kami semua. Kami bertiga mengambil posisi tidur di sofa
yang ada di kamar Eldwin, kami semua melompat kaget setelah mendengar
suara telfon. Itu telfon sambungan dari pos satpam depan. Syukurlah. Aku
yang paling dekat dengan telfon menekan tombol loudspeaker.
“hallo mas Eldwin? Ini dari pos satpam!” terdengar suara pak satpam itu.
“ada apa?” tanya Eldwin
“mas, ini temannya yang cewe ga diajak turun? Ko dibiarin tidur dimobil? Mobilnya dikunci lagi!” ucapnya
Kami bertiga saling memandang dan berteriaaaaaaaaaaaaaak
**
(buku nightmare season 1)